Bagi Anda yang belum tahu, Hachiko: a dog’s story diangkat dari kisah nyata yang terjadi di Jepang pada 1925—1935. Profesor Hidesaburo Ueno, seorang dosen di Universitas Kekaisaran Tokyo, memiliki anjing jenis Akita Inu yang diberi nama Hachi (dalam bahasa Jepang artinya ‘delapan’, angka kesempurnaan). Ueno dan Hachi memiliki hubungan emosional yang erat. Setiap hari, Hachi mengantar tuannya berangkat kerja ke Stasiun Shibuya. Sore harinya, Hachi kembali menjemput tuannya di tempat yang sama. Rutinitas tersebut berjalan selama 2 tahun.
2 Mei 1925, Profesor Ueno meninggal dunia secara mendadak saat sedang mengajar. Hachi tidak memahami hal tersebut dan terus melakukan rutinitasnya: menjemput tuannya di stasiun. Pascakematian Ueno, Hachi sempat berpindah tangan ke kerabat-kerabat Ueno. Walaupun beberapa kali berpindah tuan, Hachi tetap setia menunggu kedatangan Ueno di depan Stasiun Shibuya sampai tahun 1935. 8 maret 1935, Hachi, 13 tahun, ditemukan mati di dekat Jembatan Inari karena penyakit filariasis. Hachi dimakamkan tepat di sebelah tuan kesayangannya. Bagian luar tubuh Hachiko diopset dan dipamerkan di Museum Nasional Ilmu Pengetahuan, Tokyo.
Cerita tentang kesetiaan Hachi mengundang banyak simpati masyarakat Jepang. Saat ini, di tempat biasanya Hachi menunggu Ueno dibangun patung Hachiko. Patung serupa juga dibuat di tanah kelahiran Hachi, Odate, Prefektur Akita.
Kisah mengharukan mengenai Hachi tidak hanya menyentuh hati masyarakat Jepang. Kisah Hachi menyebar ke seluruh dunia dan akhirnya membuat Hallström tertarik untuk membuat versi Hollywood-nya. Kali ini, Richard Gere, aktor senior berwajah simpatik, mendapat kepercayaan untuk berperan sebagai Parker Wilson, seorang profesor yang mengajar seni musik yang sekaligus merupakan tuan kesayangan Hachi. Hachiko garapan Hallström mungkin sedikit berbeda dengan cerita aslinya atau film pendahulunya, Hachikō Monogatari (1987). Namun, Hallström mampu menyampaikan inti dari kisah Hachi dengan sangat baik.
Film drama kali ini memang dikemas dengan sangat sederhana. Bagi saya, itu tidak masalah karena cerita dari film ini sendiri sudah memiliki kekuatan yang begitu kuat untuk “menyihir” penonton. Film ini merupakan salah satu film yang berhasil menyentuh dan “menyentil” emosi penonton. Bagi para wanita, sebaiknya Anda menyiapkan tisu sebanyak-banyaknya.
Kelihaian Hallström mempermainkan emosi penonton membuat film ini diminati tidak hanya masyarakat Jepang tetap juga masyarakat Amerika. Buktinya, film ini merangkak perlahan tapi pasti ke deretan box office.
Film ini mungkin bisa dijadikan perenungan mengenai kepercayaan, kesetiaan, dan undying love. Kadangkala, tanpa Anda sadari teman terbaik Anda justru adalah hewan peliharaan Anda sendiri. Pernahkah Anda melihat seekor anjing berlari ketakutan saat tuannya terjebak dalam api atau saat tuannya diganggu segerombolan preman?
Bagi Anda yang memiliki hewan peliharaan, terutama anjing, sayangilah mereka karena mungkin Anda tidak pernah menyadari bahwa cinta yang mereka punya untuk Anda sebenarnya jauh lebih besar dari apa pun.
No comments:
Post a Comment