A.
Perubahan
Hukum
Sumber-Sumber Luar
Syari’at adalah hukum
Ketuhanan, baik mengenai sumbernya ataupun dasar-dasarnya. Karena sifatnya
inilah maka dalam masalah perubahan hukum berhubungan dengan keadaan tempat,
waktu dan kepentingan, menurut adanya kecerdasan dan ketelitian yang
sungguh-sungguh serta mendalam.
Tujuan Syari’at
Banyak ulama hukum Islam
dari berbagai mazhab menulis karangan-karangan mengenai teori hukum Islam dan
tujuannya. Dari sudut ini mereka membagi syari’at dalam dua bagian besar, yaitu
bagian Ibadat dan bagian Muamalat Keduniawian.
Yang pertama, yaitu bagian
ibadat membahas soal-soal ibadat yang dikenal dengan istilah “Syara” . Adapun
yang menjadi pembahasan bagian yang kedua, ialah soal-soal yang berkenaan
dengan masalah kemaslahatan hidup duniawi.
Adapun tujuan daripada hukum muamalat,
semuanya bisa diketahui dengan kesadaran akal, yaitu berdasarkan atas prinsip
menarik kemanfaatan bagi kepentingan manusia dan menghidarkan perbuatan yang
merugikan serta membahayakan kepentingannya. Atau dengan keterangan lain
menurut kebanyakan ulama fiqh; Bahwa hukum syari’at didasarkan atas ketentuan
bahwa yang menjadi dasar kemanfaatan ialah kewenangan, sedang yang menjadi
dasar kemelaratan dan kerusakan ialah larangan-larangan.
Diantara keterangan yang
terbaik mengenai pengertian tujuan syari’at ini, seperti yang dikemukakan oleh
Ibnu Qayyim: “Syari’at dasarnya adalah hikmat dan kemaslahatan manusia dalam
kehidupan duniawi dan ukhrawi. Syari’at itu keadilan, rahmat dan hikmat
seluruhnya. Maka syari’at yang dibawa Rasulullah itulah tihang-nya alam ini,
dan pangkal dasarnya kebahagiaanserta keselamatan di dunia dan akhirat.
Dasar perubahan hukum
Kenyataan-kenyataan yang
bersifat kemasyarakatan ini berlangsung dengan tiada hentinya sesuai dengan
kemaslahatan manusia karena berubahnya gejala-gejala kemasyarakatan. Dan oleh
karena kemaslahatan manusia itu menjadi dasar setiap macam hukum. Benar apa
yang dikatakan oleh Ibnu Qayyim: “Perubahan dan berbeda-beda fatwa disebabkan
karena dan sesuai dengan perubahan zaman, hal ihwal dan kebiasaan. Kaidah ini
menetapkan, bahwa yang dimaksud dengan kemaslahatan yang terkandung di
dalamnya, ialah kemaslahatan menurut padangan syari’at. Dan oleh karena apa
yang disebut kemaslahatan itu menjadi alasan dan asas hukum, maka seharusnya
pengertian ini diikuti dengan kaidah lain, yaitu bahwa jika alasan itu sudah
tiada lagi ataupun sudah berubah, maka hukum yang berdasarkan atas alasan dan
asas tersebut harus ditinggalkan ataupun diubah.
Contoh-contoh tentang perubahan hukum dan ijtihad
Banyak contoh yang kita
kemukakan tentang berubahnya ketentuan hukum dan fatwa-fatwa hukum dalam
masalah-masalah far’iyah
Menurut penyidikan
ulama-ulama fiqh mutakhir dari mazhab Hanafi, bahwa imam mereka sudah
berijtihad dalam beberapa masalah hukum berdasarkan atas adat kebiasaan yang
berlaku pada zamannya pada saat dimana adat kebiasaan sudah harus berubah.
Contoh lain bisa kita
lihat di dalam sebuah risalah Ibnu Abidin yang bernama Nasyrul-‘urfi fi
bina’i ba’dil-ahkam ‘alal-urfi atau di dalam kitab lainnya dari mazhab
Hanafi. Abu Hanifah dan kedua orang sahabatnya tidak membolehkan mengajar
Al-Qur’an dan yang seumpamanya dengan memungut upah. Akan tetapi setelah
keadaan berubah dimana guru-guru sudah tidak lagi menerima hadiah atas amalnya
itu, maka ulama-ulama mutakhir memberikan fatwa yang membolehkan pemungutan
upah atas pekerjaannya tersebut disebabkan karena berubahnya kebiasaan.
Demikian juga mengenai
perbuatan gasab atas kekayaan milik anak yatim. Mereka memberikan ketentuan
yang berbuat gasab atas barang tersebut, wajib menangggung ganti hasilnya
ketentuan mana menyimpang daripada kaidah mazhab Hanafi yang meniadakan
penanggungan ganti tersebut. Juga mereka pernah memberi fatwa tentang larangan
menyewakan barang milik anak yatim dan mewakafkannya lebih dari satu tahun
untuk satu kali masa dan mewakafkan tanah lebih dari tiga tahun. Ketentuan ini
bertentangan pula dengan mazhab mereka sendiri.
Contoh lain, bahwa
keadaan rumah-rumah pada zaman dahulu mempunyai model bentuk yang sam. Akan
tetapi model bangunan rumah pada zaman ulama-ulama mutakhir sudah berlainan
dari zaman yang lalu dengan model yang bermacam-macam. Oleh karena itu, dalam
soal jual-beli rumah ini ulama-ulama mutakhir memberikan fatwanya, bahwa si
pembeli diharuskan melihat kamar-kamar rumah keseluruhan sebelum melangsungkan
jual beli. Ini sama dengan ketentuan dalam Al-Majallah pasal 326.
Perubahan aturan undang-undang
Menurut kalangan muslim,
kebanyakan ulama fiqh mau menerima kaidah perubahan ketentuan ini. Namun disini
terdapat perbedaan pendapat mengenai masalah yang sudah ada ketentuan hukumnya
yang jelas didalam Al-Quran dan Sunnah. Memang di dalam Al-Quran dan Sunnah ada
nasakh, dan dibolehkan menurut dalil-dalil kejadiannya. Akan tetapi soalnya,
apakah dibolehkan mengganti nas Al-Quran dan Sunnah dengan nas atau aturan
lain. Jawabannya memerlukan penjelasan yang lebih luas. Mengenai hal yang berkenaan
dengan perkara ibadat dan agama, maka semua nasnya tetap untuk selama-lamanya “ma
damatil-ardu ardan wassama’u sama’an” ( selagi bumi masih tetap bumi dan
langit tetap langit ). Oleh karena itu maka alasan perubahan waktu dan tempat
atupun berubahnya keadaan, tidak ada artinya bagi soal agama dan ibadat, sebab
apa yang sudah ditetapkan akan terus menjadi ketetapan buat selama-selamanya, buat
segala tempat, zaman dan keadaan. Hanya saja mengenai masalah mengubah
ketentuan hukum yang ditetapkan dengan nas Al-Quran dan Hadits, diantara
ulama-ulama itu timbul perbedaan pendapat antara yang menolak dengan yang mau
menerimanya dalam beberapa hal. Walaupun demikian, apa yang telah dilakukan
oleh sementara khalifah, imam-imam dan para ahli hukum Islam, sementara itu
hanya membolehkan perubahan penafisiran nas dan cara-cara ijtihad saja yang
berdasarkan atas ketentuan nas-nas itu pula, yaitu atas alasan-alasan yang
berubahnya alasan hukum atau karena berubahnya adat kebiasaan yang tidak lepas
dari dasar nas atau karena faktor-faktor darurat dan prinsip kemaslahatan.
Jurisprudensi Umar bin Khattab
Tiada kesangsian pun
terhadap diri Khalifah Umar bin Khattab yang bergelar Al-Faruq itu, beliau
adalah seorang pendiri dan pembina daulat negara Islam yang sangat cakap,
terkenal dengan keadilannya dan sifatnya yang tegas dan berani. Bagi Al-Faruq
tidak ada yang terlambat, sehingga soal mengubah penafsiran aturan-aturan nas
hukum, apabila hal itu berkenaan dengan politik hukum atau dengan kemaslahatan
umum bangsa muslim. Misalnya :
1.
Muallaf.
Didalam Al-Quran ada ayat yang menerangkan tentang ketentuan sedekah. (
At-Taubah, 60 )
“Bahwa sesungguhnya sedekah itu tidak lain untuk fakir, miskin,
para amil, orang-orang muallaf, yang dijinakkan hatinya, untuk membebaskan
perbudakkan, orang-orang berhutang, untuk keperluan di jalan Allah dan untuk
orang-orang dalam perjalanan, seuatu kewajiban dari Allah.”
Yang dimaksud dengan Al-Muallafatu qulubuhum ialah orang-orang yang
oleh Nabi SAW diberi bagian sedekah dengan maksud untuk menarik dan menjinakkan
hatinya kepada Islam, yaitu disebabkan karena imannya masih lemah atau untuk
tujuan menghilangkan kelakukaan jahat mereka yang masih ada, ataupun disebabkan
karena kedudukan mereka yang terhormat di antara kaumnya.
2.
Talak.
Pada zaman Nabi SAW, Khalifah Abu Bakar dan zaman Khalifah Umar bin Khattab,
jika terjadi seorang laki-laki menjatuhkan talak tiga kepada isterinya pada
suatu majelis, maka talak dengan cara demikian itu dianggap jatuh satu kali
talak. Akhmad Muhammad Syakir berkenaan dengan keputusan Khalifah Umar,
mengatakan bahwa tindakan beliau itu adalah sebagai keputusan kepala negara
yang bisa digolongkan sebagai kebijaksanaan atau politik hukum. Sebab katanya:
“Segala ketentuan hukum yang sudah ditetapkan dengan jelas oleh Al-Quran dan
Sunnah tidak boleh diubah ataupun diadakan penelitian antara ketentuan hukum
itu dengan ketentuan hukum yang lain baik oleh perseorangan ataupun oleh
permufakatan umat.
3.
Jual-beli,
ummahatul aulad. Yang dimaksud dengan ummahatul aulad, ialah
perempuan-perempuan amat yang melahirkan anak dari tuannya. Ibnu Rusyd
mengatakan: “Adalah bertentangan sekali dengan akhlak yang luhur seorang tuan
menjual ibu dari anaknya sendiri. Bukankah Nabi SAW, pernah bersabda: ‘saya diutus
untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak’.
4.
Pencurian.
Pidana atau hukuman yang diancamkan terhadap pencurian menurut hukum pidana
Islam, ialah hukuman had yaitu potong tangan, berdasarkan atas dalil Al-Quran :
( Al-Maidah,38)
وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقْطَعُوٓا۟
أَيْدِيَهُمَا
Artinya: “Pencuri
laki-laki dan pencuri perempuan hendaklah kamu potong tangan mereka.”
5.
Zina.
Ancaman hukuman terhadap penzina gair muhsan, yaitu orang-orang yang tidak
terkait oleh perkawinan yang sah menurut ulama-ulama jamhur ialah hukuman dera
seratus kali atau pengasingan satu tahun penuh.
6.
Ta’zir.
Ta’zir dalam pengertian hukum, ialah satu macam hukuman yang bersifat
pendidikan yang diputuskan oleh hakim terhadap suatu perbuatan pidana atau
perbuatan melanggar hukum (maksiat) yang ancaman hukumannya tidak ditetapkan
secara pasti oleh syari’at. Ada diterangkan didalam hadits: (bukhari
–Muslim-ahmad dan sunan empat)
“Tidak boleh
dijilid lebih dari sepuluh kali kecuali dalam salah satu jarimat hudud”
7.
Diat
terhadap kabillah atau aqilah. Kadang-kadang diat dikenakan terhadap kabilah
atau aqilah. Sebab aqilah pada zaman Nabi SAW, dan begitulah yang diikuti oleh
ulama-ulama fiqh mazhab Maliki adalah kabillahnya si pelaku perbuatan pidana.
Jurisprudensi Khalifah-khalifah lainnya
Sebagai misal juga
tentang perubahan sunnah, ada diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Khalifah Umar
bin ‘Abdul’ Aziz. Beliau berkata; “Hadiah pada zaman Rasulullah saw, adalah
benar-benar hadiah, akan tetapi sekarang ini berarti suapan”. Sedang pada zaman
Mu’awiyah, beliau mengambil separo dari diat itu untuk baitulmal dan yang
separo lainnya untuk keluarga si terbunuh. Umar bin ‘Abdul Azis’ memutuskan
separo dari diat orang Muslim, dengan meniadakan pemasukan daripadanya untuk
baitulmal.
Imam Abu Yusuf al-Hanafi
Ulama-ulama fiqh Jumhur,
di antaranya ialah Imam Abu Hanifah dan Imam Muhammad dengan tegas mengatakan
bahwa, aturan syari’at-lah yang harus diikuti, bukan hukum adat. Akan tetapi
Abu Yusuf, salah seorang hakim di Baghdad berpendapat lain. Dengan berdasarkan
atas dalil ihtisan, ia mengharuskan meninggalkan nas itu dan mengikuti hukum
adat. Katanya: “Adat kebiasaan itulah yang harus lebih diutamakan”. Dan dengan
sebuah dalil yang terdapat didalam keputusan Komisi Al-Majallah yang diajukan
kepada kahlifah yang berbunyi: “sesungguhnya karena perubahan waktu berganti
dan berlainan pula masalah-masalah yang harus diambil dasarnya atas adat
kebiasaan.”
Imam Qarafi al-Maliki
Imam Syihabuddin
Abdul-‘Abbas Ahmad bin Idris (684 H.) yang terkenal dengan nama Al-Qarafi
al-Misri menjadi imam dari mazhab Maliki di Mesir.
Kepada beliau pernah
diajukan pertanyaan mengenai suatu soal yang terdapat didalam kitabnya
Al-Ahkam: “Jika kebiasaan tidak menunjukkan sesuatu yang semula sudah
ditunjukkan, apakah fatwa-fatwa yang tertulis didalam kitabnya ulama fiqh
menjadi batal dan lantas harus berfatwa dengan yang sama dengan kebiasaan yang
berubah-ubah itu?”. Jawab Al-Qarafi: “Bahwa semua yang ada didalam syari’at itu
mengikuti adat dan kebiasaan, hukum mengenai ssesuatu soal berubah bilamana
adat kebiasaan berubah hingga sesuai dengan adat kebiasaan yang berganti-ganti
itu, dan mengenai soal itu bukanlah dengan pembaharuan untuk ijtihad dari
muqalid sehingga diharuskan syarat-syarat keahlian ijtihad.
Imam Tufi Al-Hambali
Imam Najamuddin
Abur-Rabi’ Sulaiman bin Abdullah bin ‘Abdul-Qawi at Tufi (761 H.) salah seorang
imam yang terkenal dari mazhab Hambali.. beliau terkenal sebagai seorang imam
yang condong kepada prinsip kemaslahatan daripada kepada nas dan ijma’. Beliau
mengatakan dalam penafisrannya terhdap hadits: ( al-Majallah dalam pasal 19)
“ Tidak bikin melarat
bagi dirinya dan tidak terhadap yang lain”
“Bahwa apabila kemaslahatan bertentangan dengan nas dan ijtihad
maka kemaslahatan harus lebih diutamakan daripada keduanya dengan cara
pengkhususan dan penjelasan tentang nas dan ijma’itu”
Kesimpulan
Disini perlu kita kemukakan beberapa hal yang kita anggap penting
untuk memperkecil perbedaan paham dari pendapat-pendapat yang saling
bertentangan itu antara lain sebagai berikut:
1)
Bahwa
persoalan yang diperselisihkan itu sesungguhnya hany sedikit saja, sebab
menurut kenyataannya nas-nas yang berhubungan dengan masalah muamalat itu
jumlahnya sedikit sekali jika dibandingkan dengan nas-nas yang berhubungan
dengan masalah ibadat.
2)
Bahwa
ketentuan-ketentuan hukum yang bisa mengalami perubahan itu sebagian besar
adalah berkenaan dengan masalah-masalah furu’, bukan kaidah umum sebagai dasar
yang tetap untuk setiap waktu dan tempat.
3)
Menurut
pendapat-pendapat ahli-ahli fiqh, bahwa penyimpangan dari ketentuan nas
disebabkan karena keadaan darurat diperbolehkan, sebab keadaan darurat itu
membolehkan hal-hal yang terlarang.
4)
Bahwasannya
banyak yang dihubungkan kepada Sunnah yang sesungguhnya didalam suatu perkara
bukan Sunnah, sebagaimana sudah kita terangkan dalam uraian kita mengenai
persoalan hadits.
5)
Beberapa
nas hadits yang berkenaan dengan masalah-masalah kehidupan keduniawian dan yang
pernah dituturkan oleh Nabi SAW.
Jadi sesungguhnya perubahan nas itu sendiri, materinya tidak begitu
jauh dari jiwa syari’at yang berdasarkan atas prinsip memudahkan dan
menggembirakan sebagaimana tersebut dalam Al-Quran dan hadits: (Al-Baqarah,
185)
“Allah menghendaki akan
kamu sekalian kemudahan dan tidak menghendaki akan kamu sekalian kesukaran.”
(al-bukhari dan syrahnya oleh Al-Aini, juz 2, hal.45)
“Mudahkanlah oleh kamu
sekalian dan janganlah kamu sekalian membikin sulit, gembirakanlah oleh kamu
sekalian dan janganlah kamu sekalian menjadikan benci”
(al-bukhari syarah Al-Aini, juz 11 , hal 85)
Artinya : “Ambillah dari pekerjaan itu, apa yang kamu buat
kerjakan”
(sahin muslim, juz 7, hal 91. Lihat al-bukhari syarh al-‘aini, juz
25, hal 31.)
“Apa yang sudah saya
cegahkan kepada kamu sekalian, hendaklah kamu sekalian jauhi dan apa yang sudah
saya perintahkan kepada kamu sekalian, hendaklah kamu sekalian kerjakan menurut
kekuatanmu”
Jadi dalil-dalil, qaul atau pendapat-pendapat yang berpangkal
kepada sumber syari’at yang sudah mu’tabar dan yang berpangkal kepada
jurisprudensi Islam serta pendapat ahli-ahli ilmu dalam berbagai mazhab,
semuanya itu adalah dasar umum. Semuanya ini yang sudah terjadi pada hukum
Islam, menandakan bahwa syari’at didalam tahap-tahap sejarah tidak menentang
alam pertumbuhan dan perkembangan.