Sunday, May 20, 2012

SUMBER LUAR DALAM HUKUM ISLAM ( Hubungan Hukum Islam dengan Hukum Romawi )


.  Hubungan Hukum Islam Dengan Hukum Romawi
Perbedaan pendapat
      Hubungan antara hukum Islam dengan hukum Romawi, adalah suatu masalah yang akut. Para ahli berbeda-beda pendapat dalam masalah ini. Diantaranya ada yang mengatakan bahwa Hukum Islam, sedikit-banyak dimasuki hukum Romawi. Yang lain berpendapat sebaliknya, menolak pendapat yang pertama, dan pendapat yang lain bersikap tengah-tengah antara pendapat yang pertama dan yang kedua, mengambil sikap yang moderat.
      Padangan yang sangat ekstrim ini, menimbulkan anggapan yang enteng sekali kepadanya, memang sangat keterlaluan. Dan ia memberikan pernyataan itu tanpa memberikan bukti-bukti ilmiah yang diperlukan menurut kelaziman dalam pembahasan soal seperti ini, secara historis. Beberapa faktor yang dijadikan alasan oleh mereka ini dengan secara ringkas adalah sebagai berikut:
1.      Keserupaan yang ada atau keserupaan yang diakukan adanya antara hukum Islam dengan hukum Romawi di dalam beberapa peraturan atau ketentuan hukum.
2.      Adanya campuran atau pemasukan dengan hukum ibrani
3.      Adanya pengaruh adat kebiasaan di negeri-negeri
Nilai keserupaan antara hukum Islam dengan hukum Romawi
       Tuan Von Kremer berkata, bahwa keserupaan di antara hukum Islam dengan Hukum Romawi, terdapat dalam banyak masalah. Yang terpenting di antaranya ialah mengenai soal kaidah-kaidah dan aturan-aturan tentang pembuktian atas si penggugat, batas umur dewasa dan kecakapan, beberapa macam hukum muamalat perniagaan seperti jual-beli dan ijaroh dan perbedaan antara jual-beli dengan tukar menukar. Perbedaan asasi antara kedua hukum ini lebih dari banyak, maka akan dikemukakan beberapa contoh sebagai berikut:
1.      Perempuan bangsa Romawi berkedudukan di bawah perintah atau kekuasaan untuk selama hidupnya. Mereka tidak mempunyai hak untuk melakukan transaksi-transaksi hukum dengan harta kekayaannya dengan tanpa izin. Adapun menurut hukum Islam, mereka mempunyai dasar-dasar kekeluargaan yang sempurna untuk melakukan segala macam transaksi
2.      Mahar atau maskawin menurut bangsa Romawi, menjadi hak suami yang diberikan kepadanya dari si isteri atau dari salah seorang keluarganya, sedang menurut hukum Islam adalah sebaliknya, laki-lakilah yang wajib memberikannya kepada isteri
3.      Pemungutan anak atau adopsi tidak diakui oleh hukum Islam dan sebaliknya menurut hukum Romawi adalah soal yang sudah lazim
4.      Hukum syuf’at dan wakaf yang dikenal di dalam hukum Islam, tidak terdapat di dalam hukum Romawi dan lain-lain.
Dalil keserupaan dengan adanya materi keserupaan itu sendiri
       Bahwa ketentuan-ketentuan hukum adalah berdasarkan atas alasan dan sebab. Jadi, apabila suatu ketentuan hukum dari dua negara terdapat kesamaan alasan dan sebab, maka dengan sendirinya bisa diterima apabila ketentuan-ketentuan hukum dari hukum di kedua negara atau bangsa itu mempunyai ketentuan yang sama atau serupa. Hal mana sesuai dengan prinsip yang menyatakan, bahwa teori sebab-musabab itu melahirkan teori akibat. Kemudian apabila kita kembali melihat kepada teori pembuktian yang disusun oleh ahli-ahli hukum abad pertengahan, terutama di Spanyol, kita akan mendapatkan suatu kenyataan adanya keserupaan dan kesamaan dengan teori dalam hukum Islam.
Pendirian para ahli Hukum Islam tentang hukum Romawi
       Suatu hal yang tidak disangsikan lagi, ialah sikap daripada ahli hukum Islam yang boleh dikatakan belum pernah mengambil perhatian untuk mempelajari hukum Romawi, menerjemahkan kitab-kitab Romawi ataupun memperbincangkannya di dalam tulisan tulisan mereka. Sebab utama dari ketidaksediaan mereka dan keenggangannya untuk mempelajari hukum Romawi itu, tidak lain daripada kepercayaan mereka yang mendalam akan kesempurnaan hukum mereka sendiri, yakni hukum Islam sebagai Hukum ketuhanan dari Allah, yang berdasarkan atas kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.


Hubungannya dengan hukum Yahudi
       Bagaimanakah caranya hukum Islam itu bisa mendapat pengaruh dari Hukum Romawi, dan dari jalan yang manakah terjadinya serta penerapannya pengaruh itu. Terhadap pertanyaan ini Von Kremer memberikan jawabannya, bahwa pengaruh tersebut datangnya dengan perantaraan Yahudi, dan dari adat kebiasaan di negeri-negeri yang dikuasai bangsa Arab sendiri. Tentang adanya keserupaan antara hukum Islam dengan hukum Yahudi itu di dalam beberapa masalah hukum, seperti  mengenai soal idah dan rada’ah. Akan tetapi harus diakui bahwa keserupaan itu sendiri di dalam masalah-masalah perincian ini, tidak bisa dijadikan alasan, sebab didalam masalah-masalah lainnya yang lebih penting daripada itu, terdapat perbedaan-perbedaan yang tajam.
Adat kebiasaan Romawi di negeri-negeri jajahan
       Pada saat meluasnya kemenangan Islam, dimana umat Islam berkuasa pula di beberapa negeri yang semula tunduk kepada kekuasaan romawi, seperti Mesir dan Syria, maka ulama-ulama Islam pada waktu itu menerapkan adat kebiasaan di negeri-negeri tersebut kepada syari’at Islam. Jadi bagaimanapun, hukum Islam tidak bisa mengakui beberapa kebiasaan sebagai hukum adat yang meliputi hukum jual-beli. Namun dalam pada itu mengakui sebagian kebiasaan dari negeri-negeri yang tunduk kepada kekuasaan Islam
       Suatu bangsa tidak bisa hidup terpisah secara menyendiri, melainkan selalu dalam hubungan dengan bangsa-bangsa lain secara keseluruhan dalam bentuk tukar-menukar kebudayaan, pengetahuan dan adat-kebiasaan. Semua peristiwa sejarah mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan dan kemajuan.
Kesimpulan
       Dari keterangan-keterangan di atas, kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa persamaan, persesuaian atau keserupaan di dalam beberapa masalah di antara hukum Islam dengan hukum Romawi, jika kita bandingkan dengan perbedaan-perbedaannya dengan soal yang enteng sekali. Dengan itu pula menjadi jelas bagi kita, bahwa materi persamaan itu sendiri, sama sekali tidak menunjukkan adanya pengaruh kepada hukum Islam. Sedang adat kebiasaan yang di ambil oleh para ahli hukum Islam di negeri-negeri yang semula tunduk kepada kekuasaan Romawi, itu bisa masuk kedalam hukum Islam asal saja tidak bertentangan dengan nas-nasnya yang ada atau dengan dasar asasi dari hukum Islam itu sendiri. Selain pengaruh yang boleh dikatakan enteng ini, maka suatu kenyataan yang tidak diragukan kebenarannya, yaitu bahwa hukum Islam adalah syari’at yang berdiri sendiri yang tidak diambil dari syari’at atau hukum lain.

SUMBER LUAR DALAM HUKUM ISLAM ( Adat dan Kebiasaan )


  Adat dan Kebiasaan           
Arti adat secara umum
      Adat, dalam pengertian umum ialah segala sesuatu yang dibiasakan oleh rakyat umum atau golongan. Adat kebiasaan memainkan peranan penting di dalam sejarah perkembangan dan kebangkitan manusia, baik dalam kehidupan sosial ataupun dalam aspek-aspek kebudayaan lainnya. Adat kebiasaan pada permulaan perkembangan umat manusia betul-betul menjadi asas bagi semua aspek kemasyarakatan, maka dengan sendirinya merupakan asas juga dalam soal-soal agama, akhlak dan muamalat. Barulah kemudian peranannya secara berangsur-angsur menjadi berkurang, yaitu setelah lahirnya mahkamah-mahkamah atau dewan-dewan kenegaraan dan adanya penyusunan hukum perundang-undangan.
      Alhasil boleh dikatakan hukum adat ini memainkan peranan yang penting sekali di dalam sejarah hukum bangsa-bangsa. Peranan ini walaupun hanya tinggal sedikit saja pada dewasa ini, namun masih tetap merupakan peranan yang tidak boleh diabaikan begitu saja, sebab timbulnya adat itu mendahului adanya undang-undang dan tetap berdiri tegak ditempatnya sebelum terhimpunnya undang-undang. Juga dalam kehidupan selanjutnya ia berfungsi memperkuat dan mengubah undang-undang hukum dan menggerakkan kekakuannya.
Pengaruh adat dalam hukum Islam
      Adat pada bangsa Arab sebelum Islam,merupakan kaidah asasi bagi setiap aspek-aspek kehidupannya, baik mengenai keagamaan, akhlak, penghidupan, perdagangan ataupun mengenai macam-macam perbuatan. Setelah agama Islam lahir, maka yang menjadi asas hukum mereka berganti dengan aturan-aturan atau nas-nas yang berdasarkan kepada Al-Quran dan Sunnah. Adat sudah tidak lagi dianggap sebagai dalil khas dari hukum Islam oleh ulama-ulama ushul. Hanya saja memeang adat yang dimasukkan di berbagai hal daripada hukum Islam, di antara yang terpenting adalah sebagai berikut:
1.      Ada beberapa nas terutama nas hadits yang berdasarkan atas adat kebiasaan
2.      Di antara Sunnah taqiri banyak yang ditetapkan yang dasarnya dari kebiasaan yang dianggap adat yang baik.
3.      Praktek yang dilakukan pada banyak perkara tidak lain adalah kebiasaan yang menjadi adat, baik lama ataupun baru, yakni yang umum dan tersebar luas serta berpengaruh diantara rakyat umum
4.      Apabila timbul kebiasaan baru karena suatu desakan kepentingan atau apabila bangsa Arab tersandung di dalam perjuangannya kepada kebiasaan yang belum oernah mereka kenal, dan di situ tidak ada aturan nas Al-Quran ataupun Sunnah yang bertentangan dengan kebiasaan itu, maka kebiasaan yang sudah terbentuk adat ini bisa diterima dan masuk di dalam hukum atau perundang-undangan hukum Islam.
Pengaruh  adat di dalam hukum perincian
       Di dalam kaidah umum dikatakan : “Bahwa adat kebiasaan adalah menetukan.’ Ini termaksud salah satu dari empat kaidah yang menurut Al-Hussain berasal dari Ilmu fiqh yang kemudian diambil alih oleh al-Majallah dengan rumusan “Al-‘Adatumuhakkamah” yang berarti bahwa adat itu, baik yang bersifat umum ataupun yang bersifat khusus bisa dijadikan dasar hukum untuk menetapkan ketentuan hukum syari’at. Yang dijadikan dalil untuk berlakuknya hukum adat ini didalam perkara-perkara syari’at adalah ijma’ ahli-ahli fiqh yang diambil dari jurisprudensi peradilan Islam. Kemudian dalam kitab fiqh dibuat juga beberapa kaidah umum lainnya, yang semuany itu sudah diambil alih dalam al-Majallah.

1.      Penggunaan orang-orang akan hujah, wajib diamalkan( Pasal 37)
2.      Yang diadatkan menurut kebiasaan, adalah seperti yang diisyaratkan menurut syarat(pasal 43)
3.      Kebiasaan yang timbul dan dilakukan di antara pedagang-pedagang,adalah seperti yang disyaratkan di antara mereka (pasal44)
4.      Penentuan dengan adat kebiasaan itu, seperti penentuan dengan nas pasal 45

Syarat-syarat adat
   Adat kebiasaan tidak boleh begitu saja diterima sebagai aturan hukum. untuk itu diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Adat kebiasaan harus diterima oleh watak yang baik
2.      Hal-hal yang dianggap sebagai adat, harus terjadi berulang kali dan tersebar luas
3.      Yang dianggap berlaku bagi perbuatan muamalat, ialah adat kebiasaan yang lama atau yang campuran, bukan yang terakhir
4.      Suatu kebiasaan, tidak boleh diterima apabila diantara dua belah pihak terdapat syarat yang berlainan.
5.      Diterangkan dalam Al-Majami’: Bahwa dat kebiasaan hanyalah boleh dijadikan alasan hukum apabila tidak bertentangan dengan fiqh.
Contoh-contoh tentang berlakunya hukum adat
·         Jika seorang penjahit disuruh menjahitkan pakaian, maka benang dan jarum adalah tanggungannya.
·         Jika seorang bapak menyerahkan anaknya kenpada seorang guru supaya mengajarnya bertukang dengan tanpa syarat tentang upah diantara keduanya, maka jika setelah pelajaran anak itu selesai salah seorang menuntut upah, maka ketentuan hukum yang harus berlaku ialah kebiasaan yang dianut di negeri yang bersangkutan 

SUMBER LUAR DALAM HUKUM ISLAM ( Perundang-Undangan Negara )


  Perundang-Undangan Negara
Perundang-undangan dan Kepala Negara
      Dari uraian-uraian dalam bagian yang lalu, sudah kita ketahui bahwa ilmu hukum Islam adalah agama dan hukum, dan pembuat peraturan hukum yang pertama ialah Allah Ta’ala, yang terhimpun dalam kitab-Nya Al-Qur’an dengan perantaraan lisan Rasul-Nya saw. Oleh karena itu, maka yang menjadi asas dari syari’at atau hukum Islam itu adalah Ketuhanan. Jadi, berbeda sifatnya daripada perundang-undangan yang timbul dan dibuat oleh kekuasaan negara.
            Wewenang dalam perundang-perundangan ini dan kewajiban rakyat untuk mematuhinya, adalah berdasarkan atas nas Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Adapun Sunnah, banyak sekali hadits-hadits sahih yang memberikan ketentuannya mengenai soal ini. Dan berdasarkan atas ijma’, bahwa khalifah-khalifah Islam dahulu telah berijtihad dalam berbagai masalah yang dikemukakan pada mereka. Ijtihad mereka ini apabila diterima dengan ijma’ maka itupun menjadi bagian dari syari’at.
Beberapa segi perundang-undangan
            Faktor utama yang melahirkan adanya wewenang perundang-undangan dari kepala negara, ialah tiadanya ketentuan pada saat diperlukan mengenai masalah-masalah baru yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Diantara faktor-faktor yang lain dari perundang-undangan ini, ialah apa yang lazim disebut politik hukum dan fungsi-fungsi keuangan negara yang memungkinkan kepala negara, imam dan penguasa-penguasa lain memelihara dan mengaturnya untuk kemaslahatan rakyat, mengatur hal ihwal orang dalam muamalat, mengatur tentang pidana atau hukuman ta’zir. Bahkan lebih daripada itu, khalifah-khalifah tidak ketinggalan mengubah penafsiran ketentuan hukum yang sudah menjadi ketetapan, apabila hal itu diperlukan berhubung dengan politik hukum dan kemaslahatan umum. Dari sudut lain lagi kadang-kadang khalifah mempunyai pengaruh juga atas syari’at.
Batas-batas kekuasaan Kepala Negara
            Di Negara Islam dimana Kepala Negara sendiri merupakan sumber kekuasaan dan perintah. Demikian misalnya Khalifah Utsmani, ia mengeluarkan undang-undang itu menurut kebijaksanaannya. Akan tetapi sekalipun demikian, sama sekali tidak boleh diartikan bahwa khalifah melakukan kekuasaan perundang-undangan itu hanya berdasarkan kepada pendapatnya sendiri. Dalam prakteknya ia terikat dalam hukum syari’at dan prinsip-prinsip keadilan. Ini dapat dibuktikan, bahwa untuk mengatur masalah-masalah yang tidak ada pengaturannya didalam syari’at beliau harus selalu bermusyawarat dengan ahli-ahli hukum dan ulama-ulama
            Diantara batas-batas lainnya yang sudah ditentukan terhadap kekuasaan kepala Negara, adalah sistem pemerintahan Islam sendiri, yaitu prinsip musyawarat sebagai pelaksanaan dari nas Al-Quran: ( ali ‘imran, 159; asy-syura, 38)
 “Dan bermusyawaratlah dengan mereka di dalam urusan itu, dan jika kamu sudah berazam hendaklah kemudian, kamu tawakal kepada Allah.” “Dan urusan mereka hendaklah dimusyawarahkan diantara mereka.”  

SEUMBER LUAR DALAM HUKUM ISLAM ( Fiksi Hukum )


  Fiksi Hukum
Tinjauan Sejarah
      Sudah diakui di dalam sejarah peradaban, bahwa perkembangan masyarakat dan pendapat umum adalah lebih cepat jalannya daripada hukum, baik dalam perubahan ataupun dalam pergantiannya sama sekali. Di antara cara-cara yang dipergunakan untuk itu, ialah dengan sistem perundang-undangan negara, keputusan-keputusan pengadilan dan fiksi hukum. hal ini dapat juga kita lihat dalam pendapat-pendapat ahli hukum bangsa Romawi dan di dalam jurisprudensi pengadilan-pengadilan di Inggris. Kesemuanya itu berkisar atas pengakuan bahwa hukum lama itu pada lahirnya tetap ada sebagai keadaanya itu, hanya didalam kenyataan yang sesungguhnya ia telah mengalami perubahan-perubahan.
Hukum Islam
      Dengan sedikit uraian sejarah ini, apabila kita kembalikan persoalannya kedalam hukum Islam atau syari’at maka kitapun menjumpai fiksi hukum serupa itu. Dan pada garis besarnya dapat kita bagi dalam dua macam, yaitu: Fiksi hukum yang mubah atau diperbolehkan dan fiksi hukum yang masih dikhilafkan, masih diperselisihkan.
      Fiksi hukum yang diperbolehkan ialah fiksi atas dasar sistem yang berlaku atas perkara tertentu, dan dipergunakannya buat hal baru dengan maksud untuk menetapkan kebenaran atau untuk menghilangkan kesamaran ataupun untuk memudahkan karena dorongan kepentingan yang mendesak.
      Fiksi hukum yang kedua, yakni yang masih diperselisihkan diantara ulama-ulama fiqh yaitu fiksi terhadap pokok ketentuan hukum yang lain, dengan oerbuatan yang secara formal ada kebenarannya,akan tetapi secara material kosong belaka.


Fiksi menurut mazhab Hanafi dan beberapa ulama mazhab Syafi’i
      Diriwayatkan dari Imam Abu Hanifah, beliau telah berkata: “Bahwa maksud membatalkan aturan-aturan hukum dengan terang-terangan adalah terlarang, akan tetapi tidak secara inklusif. Ini dapat kita lihat dari contoh-contoh yang mereka berikan dalam beberapa kitab fiqih, antara lain sebagai berikut:
1)      Didalam  syari’at ada ditentukan bahwa ahli waris tidak boleh menerima wasiat kecuali dengan izin atau persetujuan ahli-ahli waris lainnya.
2)      Menurut mazhab Hanafi, syuf’at yaitu hak didahulukan untuk membeli (Pre-emption) dibolehkan bagi peserta milik barang yang dijual. Akan tetapi kemudian ulama-ulama fiqh membuat suatu fiksi yang bermacam-macam dalam hal ini dengan maksud supaya dilepaskan dari hak syuf’at.
3)      Tidak dibolehkan mengambil bunga dari utang-piutang karena adanya larangan riba. Maka helat atau fiksi supaya mendapat bunga dari utang-piutang itu ialah dengan cara dimana si berutang atau debitor menjual barangnya kepada kreditor (si berpiutang) itu dengan harga yang kurang dari yang semestinya, atau debitor membeli barang dari kreditor dengan harga yang lebih dari yang sebenarnya ataupun dengan cara memberi hadiah kepada kreditor itu sejumlah uang yang seimbang dengan jumlah balas jasa tersebut.
Mazhab-mazhab Islam lainnya.
       Diriwayatkan dari Imam Syafi’i, bahwa beliau sesungguhnya sangat tidak setuju dengan fiksi hukum. Alasan tentang terlarangnya, fiksi yang kita bicarakan ini berdasarkan atas kaidah pokok dari syari’at, yaitu bahwa segala peraturan hukum harus disandarkan atas kemaslahatan kepada tujuan atau prinsip kemaslahatan itu. Maka apapula sangkaan kepada syari’at Islam yang sudah terang kesempurnaanya itu dan yang menjadi sumber hikmat kemaslahatan dan kesempurnaan. Larangan fiksi hukum, selain berdasarkan atas dalil aqli, juga ada dasarnya di dalam syari’at. Akan tetapi untuk itu cukuplah sekedar penjelasan, kita kemukakan beberapa dalil saja sebegai berikut:
1)      Bahwa tujuan yang prinsipal dari nas-nas atau peraturan syari’at adalah bermaksud untuk kemaslahatan hidup seseorang dan masyarkat. Dan oleh karena itu juga maka setiap fiksi yang pada hakikatnya dimaksudkan untuk menutupi perbuatan yang terlarang, itu wajib dilarang (al-an’am, 108)
 “Janganlah kamu sekalian memaki-maki orang-orang yang mengajak kepada selain Allah, maka mereka akan memaki-maki Allah secara melampaui batas dengan tanpa pengetahuan”
2)      Bahwa didalam fiksi terhadap peraturan-peraturan hukum terdapat unsur bujukan dan tipu muslihat adalah perbuatan yang dilarang oleh syari’at, baik oleh Al-Quran ataupun Sunnah. ( Al-baqarah, 231 )
 “Dan janganlah kamu sekalian mempermainkan ayat Allah”
3)      Ada riwayat lain dari Nabi SAW. Dari sahabat dan tabi’in yang memperkuat larangan tersebut, umpamanya hadits: ( riwayat suyuti di dalam al-jami’us-sahgir, No. 467, dinukil dari Ibnu Majah, Baihaqi dan Ibnu Mansur)
 “Apabila salah seorang dari kamu sekalian menghutangkan kepada saudaranya, kemudian diberinya hadiah makanan janganlah ia menerima atau membawanya ke kendaraannya, janganlah ia mengendarainya kecuali apabila diantra dia dengan dia itu sudah berjalan demikian sebelumnya”  
Kesimpulan
            Demikianlah pada garis besarnya, apa yang telah kita bicarakan, adanya perselisihan pendapat diantara mazhab-mazhab mengenai masalah fiksi hukum. oleh karena itu salah benar apabila dengan uraian dan gambaran ini kita mengambil kesimpulan seolah-olah hukum Islam membolehkan fiksi terhadap peraturan-peraturan hukum atau undang-undang dengan tanpa penelitian. Jadi sekalipun soal ini dibolehkan oleh satu atau dua mazhab, tetapi tetap dianggapp batal, terlarang oleh mazhab lainnya, dengan mendasarkan pendapat-pendapatnya itu kepada dalil-dalil hukum dan jurisprudensi yang mu’tabar.

SUMBER LUAR DALAM HUKUM ISLAM ( Perubahan Hukum )


A.  Perubahan Hukum
Sumber-Sumber Luar
      Syari’at adalah hukum Ketuhanan, baik mengenai sumbernya ataupun dasar-dasarnya. Karena sifatnya inilah maka dalam masalah perubahan hukum berhubungan dengan keadaan tempat, waktu dan kepentingan, menurut adanya kecerdasan dan ketelitian yang sungguh-sungguh serta mendalam.
Tujuan Syari’at
      Banyak ulama hukum Islam dari berbagai mazhab menulis karangan-karangan mengenai teori hukum Islam dan tujuannya. Dari sudut ini mereka membagi syari’at dalam dua bagian besar, yaitu bagian Ibadat dan bagian Muamalat Keduniawian.
      Yang pertama, yaitu bagian ibadat membahas soal-soal ibadat yang dikenal dengan istilah “Syara” . Adapun yang menjadi pembahasan bagian yang kedua, ialah soal-soal yang berkenaan dengan masalah kemaslahatan hidup duniawi.
      Adapun tujuan daripada hukum muamalat, semuanya bisa diketahui dengan kesadaran akal, yaitu berdasarkan atas prinsip menarik kemanfaatan bagi kepentingan manusia dan menghidarkan perbuatan yang merugikan serta membahayakan kepentingannya. Atau dengan keterangan lain menurut kebanyakan ulama fiqh; Bahwa hukum syari’at didasarkan atas ketentuan bahwa yang menjadi dasar kemanfaatan ialah kewenangan, sedang yang menjadi dasar kemelaratan dan kerusakan ialah larangan-larangan.
      Diantara keterangan yang terbaik mengenai pengertian tujuan syari’at ini, seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Qayyim: “Syari’at dasarnya adalah hikmat dan kemaslahatan manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi. Syari’at itu keadilan, rahmat dan hikmat seluruhnya. Maka syari’at yang dibawa Rasulullah itulah tihang-nya alam ini, dan pangkal dasarnya kebahagiaanserta keselamatan di dunia dan akhirat.



Dasar perubahan hukum
      Kenyataan-kenyataan yang bersifat kemasyarakatan ini berlangsung dengan tiada hentinya sesuai dengan kemaslahatan manusia karena berubahnya gejala-gejala kemasyarakatan. Dan oleh karena kemaslahatan manusia itu menjadi dasar setiap macam hukum. Benar apa yang dikatakan oleh Ibnu Qayyim: “Perubahan dan berbeda-beda fatwa disebabkan karena dan sesuai dengan perubahan zaman, hal ihwal dan kebiasaan. Kaidah ini menetapkan, bahwa yang dimaksud dengan kemaslahatan yang terkandung di dalamnya, ialah kemaslahatan menurut padangan syari’at. Dan oleh karena apa yang disebut kemaslahatan itu menjadi alasan dan asas hukum, maka seharusnya pengertian ini diikuti dengan kaidah lain, yaitu bahwa jika alasan itu sudah tiada lagi ataupun sudah berubah, maka hukum yang berdasarkan atas alasan dan asas tersebut harus ditinggalkan ataupun diubah.

Contoh-contoh tentang perubahan hukum dan ijtihad
      Banyak contoh yang kita kemukakan tentang berubahnya ketentuan hukum dan fatwa-fatwa hukum dalam masalah-masalah far’iyah
      Menurut penyidikan ulama-ulama fiqh mutakhir dari mazhab Hanafi, bahwa imam mereka sudah berijtihad dalam beberapa masalah hukum berdasarkan atas adat kebiasaan yang berlaku pada zamannya pada saat dimana adat kebiasaan sudah harus berubah.
      Contoh lain bisa kita lihat di dalam sebuah risalah Ibnu Abidin yang bernama Nasyrul-‘urfi fi bina’i ba’dil-ahkam ‘alal-urfi atau di dalam kitab lainnya dari mazhab Hanafi. Abu Hanifah dan kedua orang sahabatnya tidak membolehkan mengajar Al-Qur’an dan yang seumpamanya dengan memungut upah. Akan tetapi setelah keadaan berubah dimana guru-guru sudah tidak lagi menerima hadiah atas amalnya itu, maka ulama-ulama mutakhir memberikan fatwa yang membolehkan pemungutan upah atas pekerjaannya tersebut disebabkan karena berubahnya kebiasaan.
      Demikian juga mengenai perbuatan gasab atas kekayaan milik anak yatim. Mereka memberikan ketentuan yang berbuat gasab atas barang tersebut, wajib menangggung ganti hasilnya ketentuan mana menyimpang daripada kaidah mazhab Hanafi yang meniadakan penanggungan ganti tersebut. Juga mereka pernah memberi fatwa tentang larangan menyewakan barang milik anak yatim dan mewakafkannya lebih dari satu tahun untuk satu kali masa dan mewakafkan tanah lebih dari tiga tahun. Ketentuan ini bertentangan pula dengan mazhab mereka sendiri.
      Contoh lain, bahwa keadaan rumah-rumah pada zaman dahulu mempunyai model bentuk yang sam. Akan tetapi model bangunan rumah pada zaman ulama-ulama mutakhir sudah berlainan dari zaman yang lalu dengan model yang bermacam-macam. Oleh karena itu, dalam soal jual-beli rumah ini ulama-ulama mutakhir memberikan fatwanya, bahwa si pembeli diharuskan melihat kamar-kamar rumah keseluruhan sebelum melangsungkan jual beli. Ini sama dengan ketentuan dalam Al-Majallah pasal 326.
Perubahan aturan undang-undang
      Menurut kalangan muslim, kebanyakan ulama fiqh mau menerima kaidah perubahan ketentuan ini. Namun disini terdapat perbedaan pendapat mengenai masalah yang sudah ada ketentuan hukumnya yang jelas didalam Al-Quran dan Sunnah. Memang di dalam Al-Quran dan Sunnah ada nasakh, dan dibolehkan menurut dalil-dalil kejadiannya. Akan tetapi soalnya, apakah dibolehkan mengganti nas Al-Quran dan Sunnah dengan nas atau aturan lain. Jawabannya memerlukan penjelasan yang lebih luas. Mengenai hal yang berkenaan dengan perkara ibadat dan agama, maka semua nasnya tetap untuk selama-lamanya “ma damatil-ardu ardan wassama’u sama’an” ( selagi bumi masih tetap bumi dan langit tetap langit ). Oleh karena itu maka alasan perubahan waktu dan tempat atupun berubahnya keadaan, tidak ada artinya bagi soal agama dan ibadat, sebab apa yang sudah ditetapkan akan terus menjadi ketetapan buat selama-selamanya, buat segala tempat, zaman dan keadaan. Hanya saja mengenai masalah mengubah ketentuan hukum yang ditetapkan dengan nas Al-Quran dan Hadits, diantara ulama-ulama itu timbul perbedaan pendapat antara yang menolak dengan yang mau menerimanya dalam beberapa hal. Walaupun demikian, apa yang telah dilakukan oleh sementara khalifah, imam-imam dan para ahli hukum Islam, sementara itu hanya membolehkan perubahan penafisiran nas dan cara-cara ijtihad saja yang berdasarkan atas ketentuan nas-nas itu pula, yaitu atas alasan-alasan yang berubahnya alasan hukum atau karena berubahnya adat kebiasaan yang tidak lepas dari dasar nas atau karena faktor-faktor darurat dan prinsip kemaslahatan.

Jurisprudensi Umar bin Khattab
      Tiada kesangsian pun terhadap diri Khalifah Umar bin Khattab yang bergelar Al-Faruq itu, beliau adalah seorang pendiri dan pembina daulat negara Islam yang sangat cakap, terkenal dengan keadilannya dan sifatnya yang tegas dan berani. Bagi Al-Faruq tidak ada yang terlambat, sehingga soal mengubah penafsiran aturan-aturan nas hukum, apabila hal itu berkenaan dengan politik hukum atau dengan kemaslahatan umum bangsa muslim. Misalnya :
1.      Muallaf. Didalam Al-Quran ada ayat yang menerangkan tentang ketentuan sedekah. ( At-Taubah, 60 )
at taubah.jpg
“Bahwa sesungguhnya sedekah itu tidak lain untuk fakir, miskin, para amil, orang-orang muallaf, yang dijinakkan hatinya, untuk membebaskan perbudakkan, orang-orang berhutang, untuk keperluan di jalan Allah dan untuk orang-orang dalam perjalanan, seuatu kewajiban dari Allah.”
Yang dimaksud dengan Al-Muallafatu qulubuhum ialah orang-orang yang oleh Nabi SAW diberi bagian sedekah dengan maksud untuk menarik dan menjinakkan hatinya kepada Islam, yaitu disebabkan karena imannya masih lemah atau untuk tujuan menghilangkan kelakukaan jahat mereka yang masih ada, ataupun disebabkan karena kedudukan mereka yang terhormat di antara kaumnya.
2.      Talak. Pada zaman Nabi SAW, Khalifah Abu Bakar dan zaman Khalifah Umar bin Khattab, jika terjadi seorang laki-laki menjatuhkan talak tiga kepada isterinya pada suatu majelis, maka talak dengan cara demikian itu dianggap jatuh satu kali talak. Akhmad Muhammad Syakir berkenaan dengan keputusan Khalifah Umar, mengatakan bahwa tindakan beliau itu adalah sebagai keputusan kepala negara yang bisa digolongkan sebagai kebijaksanaan atau politik hukum. Sebab katanya: “Segala ketentuan hukum yang sudah ditetapkan dengan jelas oleh Al-Quran dan Sunnah tidak boleh diubah ataupun diadakan penelitian antara ketentuan hukum itu dengan ketentuan hukum yang lain baik oleh perseorangan ataupun oleh permufakatan umat.

3.      Jual-beli, ummahatul aulad. Yang dimaksud dengan ummahatul aulad, ialah perempuan-perempuan amat yang melahirkan anak dari tuannya. Ibnu Rusyd mengatakan: “Adalah bertentangan sekali dengan akhlak yang luhur seorang tuan menjual ibu dari anaknya sendiri. Bukankah Nabi SAW, pernah bersabda: ‘saya diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak’.

4.      Pencurian. Pidana atau hukuman yang diancamkan terhadap pencurian menurut hukum pidana Islam, ialah hukuman had yaitu potong tangan, berdasarkan atas dalil Al-Quran : ( Al-Maidah,38)

وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقْطَعُوٓا۟ أَيْدِيَهُمَا

Artinya: “Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan hendaklah kamu potong tangan mereka.”

5.      Zina. Ancaman hukuman terhadap penzina gair muhsan, yaitu orang-orang yang tidak terkait oleh perkawinan yang sah menurut ulama-ulama jamhur ialah hukuman dera seratus kali atau pengasingan satu tahun penuh.

6.      Ta’zir. Ta’zir dalam pengertian hukum, ialah satu macam hukuman yang bersifat pendidikan yang diputuskan oleh hakim terhadap suatu perbuatan pidana atau perbuatan melanggar hukum (maksiat) yang ancaman hukumannya tidak ditetapkan secara pasti oleh syari’at. Ada diterangkan didalam hadits: (bukhari –Muslim-ahmad dan sunan empat)

Tidak boleh dijilid lebih dari sepuluh kali kecuali dalam salah satu jarimat hudud”  

7.      Diat terhadap kabillah atau aqilah. Kadang-kadang diat dikenakan terhadap kabilah atau aqilah. Sebab aqilah pada zaman Nabi SAW, dan begitulah yang diikuti oleh ulama-ulama fiqh mazhab Maliki adalah kabillahnya si pelaku perbuatan pidana.


Jurisprudensi Khalifah-khalifah lainnya
     Sebagai misal juga tentang perubahan sunnah, ada diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Khalifah Umar bin ‘Abdul’ Aziz. Beliau berkata; “Hadiah pada zaman Rasulullah saw, adalah benar-benar hadiah, akan tetapi sekarang ini berarti suapan”. Sedang pada zaman Mu’awiyah, beliau mengambil separo dari diat itu untuk baitulmal dan yang separo lainnya untuk keluarga si terbunuh. Umar bin ‘Abdul Azis’ memutuskan separo dari diat orang Muslim, dengan meniadakan pemasukan daripadanya untuk baitulmal.

Imam Abu Yusuf al-Hanafi
     Ulama-ulama fiqh Jumhur, di antaranya ialah Imam Abu Hanifah dan Imam Muhammad dengan tegas mengatakan bahwa, aturan syari’at-lah yang harus diikuti, bukan hukum adat. Akan tetapi Abu Yusuf, salah seorang hakim di Baghdad berpendapat lain. Dengan berdasarkan atas dalil ihtisan, ia mengharuskan meninggalkan nas itu dan mengikuti hukum adat. Katanya: “Adat kebiasaan itulah yang harus lebih diutamakan”. Dan dengan sebuah dalil yang terdapat didalam keputusan Komisi Al-Majallah yang diajukan kepada kahlifah yang berbunyi: “sesungguhnya karena perubahan waktu berganti dan berlainan pula masalah-masalah yang harus diambil dasarnya atas adat kebiasaan.”

Imam Qarafi al-Maliki
     Imam Syihabuddin Abdul-‘Abbas Ahmad bin Idris (684 H.) yang terkenal dengan nama Al-Qarafi al-Misri menjadi imam dari mazhab Maliki di Mesir.
     Kepada beliau pernah diajukan pertanyaan mengenai suatu soal yang terdapat didalam kitabnya Al-Ahkam: “Jika kebiasaan tidak menunjukkan sesuatu yang semula sudah ditunjukkan, apakah fatwa-fatwa yang tertulis didalam kitabnya ulama fiqh menjadi batal dan lantas harus berfatwa dengan yang sama dengan kebiasaan yang berubah-ubah itu?”. Jawab Al-Qarafi: “Bahwa semua yang ada didalam syari’at itu mengikuti adat dan kebiasaan, hukum mengenai ssesuatu soal berubah bilamana adat kebiasaan berubah hingga sesuai dengan adat kebiasaan yang berganti-ganti itu, dan mengenai soal itu bukanlah dengan pembaharuan untuk ijtihad dari muqalid sehingga diharuskan syarat-syarat keahlian ijtihad.

Imam Tufi Al-Hambali
     Imam Najamuddin Abur-Rabi’ Sulaiman bin Abdullah bin ‘Abdul-Qawi at Tufi (761 H.) salah seorang imam yang terkenal dari mazhab Hambali.. beliau terkenal sebagai seorang imam yang condong kepada prinsip kemaslahatan daripada kepada nas dan ijma’. Beliau mengatakan dalam penafisrannya terhdap hadits: ( al-Majallah dalam pasal 19)
 “ Tidak bikin melarat bagi dirinya dan tidak terhadap yang lain”
“Bahwa apabila kemaslahatan bertentangan dengan nas dan ijtihad maka kemaslahatan harus lebih diutamakan daripada keduanya dengan cara pengkhususan dan penjelasan tentang nas dan ijma’itu”

Kesimpulan
Disini perlu kita kemukakan beberapa hal yang kita anggap penting untuk memperkecil perbedaan paham dari pendapat-pendapat yang saling bertentangan itu antara lain sebagai berikut:
1)      Bahwa persoalan yang diperselisihkan itu sesungguhnya hany sedikit saja, sebab menurut kenyataannya nas-nas yang berhubungan dengan masalah muamalat itu jumlahnya sedikit sekali jika dibandingkan dengan nas-nas yang berhubungan dengan masalah ibadat.
2)      Bahwa ketentuan-ketentuan hukum yang bisa mengalami perubahan itu sebagian besar adalah berkenaan dengan masalah-masalah furu’, bukan kaidah umum sebagai dasar yang tetap untuk setiap waktu dan tempat.
3)      Menurut pendapat-pendapat ahli-ahli fiqh, bahwa penyimpangan dari ketentuan nas disebabkan karena keadaan darurat diperbolehkan, sebab keadaan darurat itu membolehkan hal-hal yang terlarang.
4)      Bahwasannya banyak yang dihubungkan kepada Sunnah yang sesungguhnya didalam suatu perkara bukan Sunnah, sebagaimana sudah kita terangkan dalam uraian kita mengenai persoalan hadits.
5)      Beberapa nas hadits yang berkenaan dengan masalah-masalah kehidupan keduniawian dan yang pernah dituturkan oleh Nabi SAW.
Jadi sesungguhnya perubahan nas itu sendiri, materinya tidak begitu jauh dari jiwa syari’at yang berdasarkan atas prinsip memudahkan dan menggembirakan sebagaimana tersebut dalam Al-Quran dan hadits: (Al-Baqarah, 185)
 “Allah menghendaki akan kamu sekalian kemudahan dan tidak menghendaki akan kamu sekalian kesukaran.”
(al-bukhari dan syrahnya oleh Al-Aini, juz 2, hal.45)
 “Mudahkanlah oleh kamu sekalian dan janganlah kamu sekalian membikin sulit, gembirakanlah oleh kamu sekalian dan janganlah kamu sekalian menjadikan benci”
(al-bukhari syarah Al-Aini, juz 11 , hal 85)
Artinya : “Ambillah dari pekerjaan itu, apa yang kamu buat kerjakan”
(sahin muslim, juz 7, hal 91. Lihat al-bukhari syarh al-‘aini, juz 25, hal 31.)
 “Apa yang sudah saya cegahkan kepada kamu sekalian, hendaklah kamu sekalian jauhi dan apa yang sudah saya perintahkan kepada kamu sekalian, hendaklah kamu sekalian kerjakan menurut kekuatanmu”

Jadi dalil-dalil, qaul atau pendapat-pendapat yang berpangkal kepada sumber syari’at yang sudah mu’tabar dan yang berpangkal kepada jurisprudensi Islam serta pendapat ahli-ahli ilmu dalam berbagai mazhab, semuanya itu adalah dasar umum. Semuanya ini yang sudah terjadi pada hukum Islam, menandakan bahwa syari’at didalam tahap-tahap sejarah tidak menentang alam pertumbuhan dan perkembangan.