Fiksi
Hukum
Tinjauan Sejarah
Sudah diakui di dalam
sejarah peradaban, bahwa perkembangan masyarakat dan pendapat umum adalah lebih
cepat jalannya daripada hukum, baik dalam perubahan ataupun dalam pergantiannya
sama sekali. Di antara cara-cara yang dipergunakan untuk itu, ialah dengan
sistem perundang-undangan negara, keputusan-keputusan pengadilan dan fiksi
hukum. hal ini dapat juga kita lihat dalam pendapat-pendapat ahli hukum bangsa
Romawi dan di dalam jurisprudensi pengadilan-pengadilan di Inggris. Kesemuanya
itu berkisar atas pengakuan bahwa hukum lama itu pada lahirnya tetap ada
sebagai keadaanya itu, hanya didalam kenyataan yang sesungguhnya ia telah
mengalami perubahan-perubahan.
Hukum Islam
Dengan sedikit uraian
sejarah ini, apabila kita kembalikan persoalannya kedalam hukum Islam atau
syari’at maka kitapun menjumpai fiksi hukum serupa itu. Dan pada garis besarnya
dapat kita bagi dalam dua macam, yaitu: Fiksi hukum yang mubah atau
diperbolehkan dan fiksi hukum yang masih dikhilafkan, masih diperselisihkan.
Fiksi hukum yang
diperbolehkan ialah fiksi atas dasar sistem yang berlaku atas perkara tertentu,
dan dipergunakannya buat hal baru dengan maksud untuk menetapkan kebenaran atau
untuk menghilangkan kesamaran ataupun untuk memudahkan karena dorongan
kepentingan yang mendesak.
Fiksi hukum yang kedua,
yakni yang masih diperselisihkan diantara ulama-ulama fiqh yaitu fiksi terhadap
pokok ketentuan hukum yang lain, dengan oerbuatan yang secara formal ada
kebenarannya,akan tetapi secara material kosong belaka.
Fiksi menurut mazhab Hanafi dan beberapa ulama mazhab Syafi’i
Diriwayatkan dari Imam
Abu Hanifah, beliau telah berkata: “Bahwa maksud membatalkan aturan-aturan
hukum dengan terang-terangan adalah terlarang, akan tetapi tidak secara
inklusif. Ini dapat kita lihat dari contoh-contoh yang mereka berikan dalam
beberapa kitab fiqih, antara lain sebagai berikut:
1)
Didalam
syari’at ada ditentukan bahwa ahli waris
tidak boleh menerima wasiat kecuali dengan izin atau persetujuan ahli-ahli
waris lainnya.
2)
Menurut
mazhab Hanafi, syuf’at yaitu hak didahulukan untuk membeli (Pre-emption)
dibolehkan bagi peserta milik barang yang dijual. Akan tetapi kemudian
ulama-ulama fiqh membuat suatu fiksi yang bermacam-macam dalam hal ini dengan
maksud supaya dilepaskan dari hak syuf’at.
3)
Tidak
dibolehkan mengambil bunga dari utang-piutang karena adanya larangan riba. Maka
helat atau fiksi supaya mendapat bunga dari utang-piutang itu ialah dengan cara
dimana si berutang atau debitor menjual barangnya kepada kreditor (si
berpiutang) itu dengan harga yang kurang dari yang semestinya, atau debitor
membeli barang dari kreditor dengan harga yang lebih dari yang sebenarnya
ataupun dengan cara memberi hadiah kepada kreditor itu sejumlah uang yang
seimbang dengan jumlah balas jasa tersebut.
Mazhab-mazhab Islam lainnya.
Diriwayatkan dari Imam
Syafi’i, bahwa beliau sesungguhnya sangat tidak setuju dengan fiksi hukum.
Alasan tentang terlarangnya, fiksi yang kita bicarakan ini berdasarkan atas
kaidah pokok dari syari’at, yaitu bahwa segala peraturan hukum harus
disandarkan atas kemaslahatan kepada tujuan atau prinsip kemaslahatan itu. Maka
apapula sangkaan kepada syari’at Islam yang sudah terang kesempurnaanya itu dan
yang menjadi sumber hikmat kemaslahatan dan kesempurnaan. Larangan fiksi hukum,
selain berdasarkan atas dalil aqli, juga ada dasarnya di dalam syari’at. Akan
tetapi untuk itu cukuplah sekedar penjelasan, kita kemukakan beberapa dalil
saja sebegai berikut:
1)
Bahwa
tujuan yang prinsipal dari nas-nas atau peraturan syari’at adalah bermaksud
untuk kemaslahatan hidup seseorang dan masyarkat. Dan oleh karena itu juga maka
setiap fiksi yang pada hakikatnya dimaksudkan untuk menutupi perbuatan yang
terlarang, itu wajib dilarang (al-an’am, 108)


“Janganlah kamu sekalian memaki-maki
orang-orang yang mengajak kepada selain Allah, maka mereka akan memaki-maki
Allah secara melampaui batas dengan tanpa pengetahuan”
2)
Bahwa
didalam fiksi terhadap peraturan-peraturan hukum terdapat unsur bujukan dan
tipu muslihat adalah perbuatan yang dilarang oleh syari’at, baik oleh Al-Quran
ataupun Sunnah. ( Al-baqarah, 231 )

“Dan janganlah kamu
sekalian mempermainkan ayat Allah”
3)
Ada
riwayat lain dari Nabi SAW. Dari sahabat dan tabi’in yang memperkuat larangan
tersebut, umpamanya hadits: ( riwayat suyuti di dalam al-jami’us-sahgir, No.
467, dinukil dari Ibnu Majah, Baihaqi dan Ibnu Mansur)
“Apabila salah seorang
dari kamu sekalian menghutangkan kepada saudaranya, kemudian diberinya hadiah
makanan janganlah ia menerima atau membawanya ke kendaraannya, janganlah ia
mengendarainya kecuali apabila diantra dia dengan dia itu sudah berjalan
demikian sebelumnya”
Kesimpulan
Demikianlah pada
garis besarnya, apa yang telah kita bicarakan, adanya perselisihan pendapat
diantara mazhab-mazhab mengenai masalah fiksi hukum. oleh karena itu salah
benar apabila dengan uraian dan gambaran ini kita mengambil kesimpulan seolah-olah
hukum Islam membolehkan fiksi terhadap peraturan-peraturan hukum atau
undang-undang dengan tanpa penelitian. Jadi sekalipun soal ini dibolehkan oleh
satu atau dua mazhab, tetapi tetap dianggapp batal, terlarang oleh mazhab
lainnya, dengan mendasarkan pendapat-pendapatnya itu kepada dalil-dalil hukum
dan jurisprudensi yang mu’tabar.
No comments:
Post a Comment