Sunday, May 20, 2012

SEUMBER LUAR DALAM HUKUM ISLAM ( Fiksi Hukum )


  Fiksi Hukum
Tinjauan Sejarah
      Sudah diakui di dalam sejarah peradaban, bahwa perkembangan masyarakat dan pendapat umum adalah lebih cepat jalannya daripada hukum, baik dalam perubahan ataupun dalam pergantiannya sama sekali. Di antara cara-cara yang dipergunakan untuk itu, ialah dengan sistem perundang-undangan negara, keputusan-keputusan pengadilan dan fiksi hukum. hal ini dapat juga kita lihat dalam pendapat-pendapat ahli hukum bangsa Romawi dan di dalam jurisprudensi pengadilan-pengadilan di Inggris. Kesemuanya itu berkisar atas pengakuan bahwa hukum lama itu pada lahirnya tetap ada sebagai keadaanya itu, hanya didalam kenyataan yang sesungguhnya ia telah mengalami perubahan-perubahan.
Hukum Islam
      Dengan sedikit uraian sejarah ini, apabila kita kembalikan persoalannya kedalam hukum Islam atau syari’at maka kitapun menjumpai fiksi hukum serupa itu. Dan pada garis besarnya dapat kita bagi dalam dua macam, yaitu: Fiksi hukum yang mubah atau diperbolehkan dan fiksi hukum yang masih dikhilafkan, masih diperselisihkan.
      Fiksi hukum yang diperbolehkan ialah fiksi atas dasar sistem yang berlaku atas perkara tertentu, dan dipergunakannya buat hal baru dengan maksud untuk menetapkan kebenaran atau untuk menghilangkan kesamaran ataupun untuk memudahkan karena dorongan kepentingan yang mendesak.
      Fiksi hukum yang kedua, yakni yang masih diperselisihkan diantara ulama-ulama fiqh yaitu fiksi terhadap pokok ketentuan hukum yang lain, dengan oerbuatan yang secara formal ada kebenarannya,akan tetapi secara material kosong belaka.


Fiksi menurut mazhab Hanafi dan beberapa ulama mazhab Syafi’i
      Diriwayatkan dari Imam Abu Hanifah, beliau telah berkata: “Bahwa maksud membatalkan aturan-aturan hukum dengan terang-terangan adalah terlarang, akan tetapi tidak secara inklusif. Ini dapat kita lihat dari contoh-contoh yang mereka berikan dalam beberapa kitab fiqih, antara lain sebagai berikut:
1)      Didalam  syari’at ada ditentukan bahwa ahli waris tidak boleh menerima wasiat kecuali dengan izin atau persetujuan ahli-ahli waris lainnya.
2)      Menurut mazhab Hanafi, syuf’at yaitu hak didahulukan untuk membeli (Pre-emption) dibolehkan bagi peserta milik barang yang dijual. Akan tetapi kemudian ulama-ulama fiqh membuat suatu fiksi yang bermacam-macam dalam hal ini dengan maksud supaya dilepaskan dari hak syuf’at.
3)      Tidak dibolehkan mengambil bunga dari utang-piutang karena adanya larangan riba. Maka helat atau fiksi supaya mendapat bunga dari utang-piutang itu ialah dengan cara dimana si berutang atau debitor menjual barangnya kepada kreditor (si berpiutang) itu dengan harga yang kurang dari yang semestinya, atau debitor membeli barang dari kreditor dengan harga yang lebih dari yang sebenarnya ataupun dengan cara memberi hadiah kepada kreditor itu sejumlah uang yang seimbang dengan jumlah balas jasa tersebut.
Mazhab-mazhab Islam lainnya.
       Diriwayatkan dari Imam Syafi’i, bahwa beliau sesungguhnya sangat tidak setuju dengan fiksi hukum. Alasan tentang terlarangnya, fiksi yang kita bicarakan ini berdasarkan atas kaidah pokok dari syari’at, yaitu bahwa segala peraturan hukum harus disandarkan atas kemaslahatan kepada tujuan atau prinsip kemaslahatan itu. Maka apapula sangkaan kepada syari’at Islam yang sudah terang kesempurnaanya itu dan yang menjadi sumber hikmat kemaslahatan dan kesempurnaan. Larangan fiksi hukum, selain berdasarkan atas dalil aqli, juga ada dasarnya di dalam syari’at. Akan tetapi untuk itu cukuplah sekedar penjelasan, kita kemukakan beberapa dalil saja sebegai berikut:
1)      Bahwa tujuan yang prinsipal dari nas-nas atau peraturan syari’at adalah bermaksud untuk kemaslahatan hidup seseorang dan masyarkat. Dan oleh karena itu juga maka setiap fiksi yang pada hakikatnya dimaksudkan untuk menutupi perbuatan yang terlarang, itu wajib dilarang (al-an’am, 108)
 “Janganlah kamu sekalian memaki-maki orang-orang yang mengajak kepada selain Allah, maka mereka akan memaki-maki Allah secara melampaui batas dengan tanpa pengetahuan”
2)      Bahwa didalam fiksi terhadap peraturan-peraturan hukum terdapat unsur bujukan dan tipu muslihat adalah perbuatan yang dilarang oleh syari’at, baik oleh Al-Quran ataupun Sunnah. ( Al-baqarah, 231 )
 “Dan janganlah kamu sekalian mempermainkan ayat Allah”
3)      Ada riwayat lain dari Nabi SAW. Dari sahabat dan tabi’in yang memperkuat larangan tersebut, umpamanya hadits: ( riwayat suyuti di dalam al-jami’us-sahgir, No. 467, dinukil dari Ibnu Majah, Baihaqi dan Ibnu Mansur)
 “Apabila salah seorang dari kamu sekalian menghutangkan kepada saudaranya, kemudian diberinya hadiah makanan janganlah ia menerima atau membawanya ke kendaraannya, janganlah ia mengendarainya kecuali apabila diantra dia dengan dia itu sudah berjalan demikian sebelumnya”  
Kesimpulan
            Demikianlah pada garis besarnya, apa yang telah kita bicarakan, adanya perselisihan pendapat diantara mazhab-mazhab mengenai masalah fiksi hukum. oleh karena itu salah benar apabila dengan uraian dan gambaran ini kita mengambil kesimpulan seolah-olah hukum Islam membolehkan fiksi terhadap peraturan-peraturan hukum atau undang-undang dengan tanpa penelitian. Jadi sekalipun soal ini dibolehkan oleh satu atau dua mazhab, tetapi tetap dianggapp batal, terlarang oleh mazhab lainnya, dengan mendasarkan pendapat-pendapatnya itu kepada dalil-dalil hukum dan jurisprudensi yang mu’tabar.

No comments:

Post a Comment