Sunday, May 20, 2012

SUMBER LUAR DALAM HUKUM ISLAM ( Perubahan Hukum )


A.  Perubahan Hukum
Sumber-Sumber Luar
      Syari’at adalah hukum Ketuhanan, baik mengenai sumbernya ataupun dasar-dasarnya. Karena sifatnya inilah maka dalam masalah perubahan hukum berhubungan dengan keadaan tempat, waktu dan kepentingan, menurut adanya kecerdasan dan ketelitian yang sungguh-sungguh serta mendalam.
Tujuan Syari’at
      Banyak ulama hukum Islam dari berbagai mazhab menulis karangan-karangan mengenai teori hukum Islam dan tujuannya. Dari sudut ini mereka membagi syari’at dalam dua bagian besar, yaitu bagian Ibadat dan bagian Muamalat Keduniawian.
      Yang pertama, yaitu bagian ibadat membahas soal-soal ibadat yang dikenal dengan istilah “Syara” . Adapun yang menjadi pembahasan bagian yang kedua, ialah soal-soal yang berkenaan dengan masalah kemaslahatan hidup duniawi.
      Adapun tujuan daripada hukum muamalat, semuanya bisa diketahui dengan kesadaran akal, yaitu berdasarkan atas prinsip menarik kemanfaatan bagi kepentingan manusia dan menghidarkan perbuatan yang merugikan serta membahayakan kepentingannya. Atau dengan keterangan lain menurut kebanyakan ulama fiqh; Bahwa hukum syari’at didasarkan atas ketentuan bahwa yang menjadi dasar kemanfaatan ialah kewenangan, sedang yang menjadi dasar kemelaratan dan kerusakan ialah larangan-larangan.
      Diantara keterangan yang terbaik mengenai pengertian tujuan syari’at ini, seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Qayyim: “Syari’at dasarnya adalah hikmat dan kemaslahatan manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi. Syari’at itu keadilan, rahmat dan hikmat seluruhnya. Maka syari’at yang dibawa Rasulullah itulah tihang-nya alam ini, dan pangkal dasarnya kebahagiaanserta keselamatan di dunia dan akhirat.



Dasar perubahan hukum
      Kenyataan-kenyataan yang bersifat kemasyarakatan ini berlangsung dengan tiada hentinya sesuai dengan kemaslahatan manusia karena berubahnya gejala-gejala kemasyarakatan. Dan oleh karena kemaslahatan manusia itu menjadi dasar setiap macam hukum. Benar apa yang dikatakan oleh Ibnu Qayyim: “Perubahan dan berbeda-beda fatwa disebabkan karena dan sesuai dengan perubahan zaman, hal ihwal dan kebiasaan. Kaidah ini menetapkan, bahwa yang dimaksud dengan kemaslahatan yang terkandung di dalamnya, ialah kemaslahatan menurut padangan syari’at. Dan oleh karena apa yang disebut kemaslahatan itu menjadi alasan dan asas hukum, maka seharusnya pengertian ini diikuti dengan kaidah lain, yaitu bahwa jika alasan itu sudah tiada lagi ataupun sudah berubah, maka hukum yang berdasarkan atas alasan dan asas tersebut harus ditinggalkan ataupun diubah.

Contoh-contoh tentang perubahan hukum dan ijtihad
      Banyak contoh yang kita kemukakan tentang berubahnya ketentuan hukum dan fatwa-fatwa hukum dalam masalah-masalah far’iyah
      Menurut penyidikan ulama-ulama fiqh mutakhir dari mazhab Hanafi, bahwa imam mereka sudah berijtihad dalam beberapa masalah hukum berdasarkan atas adat kebiasaan yang berlaku pada zamannya pada saat dimana adat kebiasaan sudah harus berubah.
      Contoh lain bisa kita lihat di dalam sebuah risalah Ibnu Abidin yang bernama Nasyrul-‘urfi fi bina’i ba’dil-ahkam ‘alal-urfi atau di dalam kitab lainnya dari mazhab Hanafi. Abu Hanifah dan kedua orang sahabatnya tidak membolehkan mengajar Al-Qur’an dan yang seumpamanya dengan memungut upah. Akan tetapi setelah keadaan berubah dimana guru-guru sudah tidak lagi menerima hadiah atas amalnya itu, maka ulama-ulama mutakhir memberikan fatwa yang membolehkan pemungutan upah atas pekerjaannya tersebut disebabkan karena berubahnya kebiasaan.
      Demikian juga mengenai perbuatan gasab atas kekayaan milik anak yatim. Mereka memberikan ketentuan yang berbuat gasab atas barang tersebut, wajib menangggung ganti hasilnya ketentuan mana menyimpang daripada kaidah mazhab Hanafi yang meniadakan penanggungan ganti tersebut. Juga mereka pernah memberi fatwa tentang larangan menyewakan barang milik anak yatim dan mewakafkannya lebih dari satu tahun untuk satu kali masa dan mewakafkan tanah lebih dari tiga tahun. Ketentuan ini bertentangan pula dengan mazhab mereka sendiri.
      Contoh lain, bahwa keadaan rumah-rumah pada zaman dahulu mempunyai model bentuk yang sam. Akan tetapi model bangunan rumah pada zaman ulama-ulama mutakhir sudah berlainan dari zaman yang lalu dengan model yang bermacam-macam. Oleh karena itu, dalam soal jual-beli rumah ini ulama-ulama mutakhir memberikan fatwanya, bahwa si pembeli diharuskan melihat kamar-kamar rumah keseluruhan sebelum melangsungkan jual beli. Ini sama dengan ketentuan dalam Al-Majallah pasal 326.
Perubahan aturan undang-undang
      Menurut kalangan muslim, kebanyakan ulama fiqh mau menerima kaidah perubahan ketentuan ini. Namun disini terdapat perbedaan pendapat mengenai masalah yang sudah ada ketentuan hukumnya yang jelas didalam Al-Quran dan Sunnah. Memang di dalam Al-Quran dan Sunnah ada nasakh, dan dibolehkan menurut dalil-dalil kejadiannya. Akan tetapi soalnya, apakah dibolehkan mengganti nas Al-Quran dan Sunnah dengan nas atau aturan lain. Jawabannya memerlukan penjelasan yang lebih luas. Mengenai hal yang berkenaan dengan perkara ibadat dan agama, maka semua nasnya tetap untuk selama-lamanya “ma damatil-ardu ardan wassama’u sama’an” ( selagi bumi masih tetap bumi dan langit tetap langit ). Oleh karena itu maka alasan perubahan waktu dan tempat atupun berubahnya keadaan, tidak ada artinya bagi soal agama dan ibadat, sebab apa yang sudah ditetapkan akan terus menjadi ketetapan buat selama-selamanya, buat segala tempat, zaman dan keadaan. Hanya saja mengenai masalah mengubah ketentuan hukum yang ditetapkan dengan nas Al-Quran dan Hadits, diantara ulama-ulama itu timbul perbedaan pendapat antara yang menolak dengan yang mau menerimanya dalam beberapa hal. Walaupun demikian, apa yang telah dilakukan oleh sementara khalifah, imam-imam dan para ahli hukum Islam, sementara itu hanya membolehkan perubahan penafisiran nas dan cara-cara ijtihad saja yang berdasarkan atas ketentuan nas-nas itu pula, yaitu atas alasan-alasan yang berubahnya alasan hukum atau karena berubahnya adat kebiasaan yang tidak lepas dari dasar nas atau karena faktor-faktor darurat dan prinsip kemaslahatan.

Jurisprudensi Umar bin Khattab
      Tiada kesangsian pun terhadap diri Khalifah Umar bin Khattab yang bergelar Al-Faruq itu, beliau adalah seorang pendiri dan pembina daulat negara Islam yang sangat cakap, terkenal dengan keadilannya dan sifatnya yang tegas dan berani. Bagi Al-Faruq tidak ada yang terlambat, sehingga soal mengubah penafsiran aturan-aturan nas hukum, apabila hal itu berkenaan dengan politik hukum atau dengan kemaslahatan umum bangsa muslim. Misalnya :
1.      Muallaf. Didalam Al-Quran ada ayat yang menerangkan tentang ketentuan sedekah. ( At-Taubah, 60 )
at taubah.jpg
“Bahwa sesungguhnya sedekah itu tidak lain untuk fakir, miskin, para amil, orang-orang muallaf, yang dijinakkan hatinya, untuk membebaskan perbudakkan, orang-orang berhutang, untuk keperluan di jalan Allah dan untuk orang-orang dalam perjalanan, seuatu kewajiban dari Allah.”
Yang dimaksud dengan Al-Muallafatu qulubuhum ialah orang-orang yang oleh Nabi SAW diberi bagian sedekah dengan maksud untuk menarik dan menjinakkan hatinya kepada Islam, yaitu disebabkan karena imannya masih lemah atau untuk tujuan menghilangkan kelakukaan jahat mereka yang masih ada, ataupun disebabkan karena kedudukan mereka yang terhormat di antara kaumnya.
2.      Talak. Pada zaman Nabi SAW, Khalifah Abu Bakar dan zaman Khalifah Umar bin Khattab, jika terjadi seorang laki-laki menjatuhkan talak tiga kepada isterinya pada suatu majelis, maka talak dengan cara demikian itu dianggap jatuh satu kali talak. Akhmad Muhammad Syakir berkenaan dengan keputusan Khalifah Umar, mengatakan bahwa tindakan beliau itu adalah sebagai keputusan kepala negara yang bisa digolongkan sebagai kebijaksanaan atau politik hukum. Sebab katanya: “Segala ketentuan hukum yang sudah ditetapkan dengan jelas oleh Al-Quran dan Sunnah tidak boleh diubah ataupun diadakan penelitian antara ketentuan hukum itu dengan ketentuan hukum yang lain baik oleh perseorangan ataupun oleh permufakatan umat.

3.      Jual-beli, ummahatul aulad. Yang dimaksud dengan ummahatul aulad, ialah perempuan-perempuan amat yang melahirkan anak dari tuannya. Ibnu Rusyd mengatakan: “Adalah bertentangan sekali dengan akhlak yang luhur seorang tuan menjual ibu dari anaknya sendiri. Bukankah Nabi SAW, pernah bersabda: ‘saya diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak’.

4.      Pencurian. Pidana atau hukuman yang diancamkan terhadap pencurian menurut hukum pidana Islam, ialah hukuman had yaitu potong tangan, berdasarkan atas dalil Al-Quran : ( Al-Maidah,38)

وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقْطَعُوٓا۟ أَيْدِيَهُمَا

Artinya: “Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan hendaklah kamu potong tangan mereka.”

5.      Zina. Ancaman hukuman terhadap penzina gair muhsan, yaitu orang-orang yang tidak terkait oleh perkawinan yang sah menurut ulama-ulama jamhur ialah hukuman dera seratus kali atau pengasingan satu tahun penuh.

6.      Ta’zir. Ta’zir dalam pengertian hukum, ialah satu macam hukuman yang bersifat pendidikan yang diputuskan oleh hakim terhadap suatu perbuatan pidana atau perbuatan melanggar hukum (maksiat) yang ancaman hukumannya tidak ditetapkan secara pasti oleh syari’at. Ada diterangkan didalam hadits: (bukhari –Muslim-ahmad dan sunan empat)

Tidak boleh dijilid lebih dari sepuluh kali kecuali dalam salah satu jarimat hudud”  

7.      Diat terhadap kabillah atau aqilah. Kadang-kadang diat dikenakan terhadap kabilah atau aqilah. Sebab aqilah pada zaman Nabi SAW, dan begitulah yang diikuti oleh ulama-ulama fiqh mazhab Maliki adalah kabillahnya si pelaku perbuatan pidana.


Jurisprudensi Khalifah-khalifah lainnya
     Sebagai misal juga tentang perubahan sunnah, ada diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Khalifah Umar bin ‘Abdul’ Aziz. Beliau berkata; “Hadiah pada zaman Rasulullah saw, adalah benar-benar hadiah, akan tetapi sekarang ini berarti suapan”. Sedang pada zaman Mu’awiyah, beliau mengambil separo dari diat itu untuk baitulmal dan yang separo lainnya untuk keluarga si terbunuh. Umar bin ‘Abdul Azis’ memutuskan separo dari diat orang Muslim, dengan meniadakan pemasukan daripadanya untuk baitulmal.

Imam Abu Yusuf al-Hanafi
     Ulama-ulama fiqh Jumhur, di antaranya ialah Imam Abu Hanifah dan Imam Muhammad dengan tegas mengatakan bahwa, aturan syari’at-lah yang harus diikuti, bukan hukum adat. Akan tetapi Abu Yusuf, salah seorang hakim di Baghdad berpendapat lain. Dengan berdasarkan atas dalil ihtisan, ia mengharuskan meninggalkan nas itu dan mengikuti hukum adat. Katanya: “Adat kebiasaan itulah yang harus lebih diutamakan”. Dan dengan sebuah dalil yang terdapat didalam keputusan Komisi Al-Majallah yang diajukan kepada kahlifah yang berbunyi: “sesungguhnya karena perubahan waktu berganti dan berlainan pula masalah-masalah yang harus diambil dasarnya atas adat kebiasaan.”

Imam Qarafi al-Maliki
     Imam Syihabuddin Abdul-‘Abbas Ahmad bin Idris (684 H.) yang terkenal dengan nama Al-Qarafi al-Misri menjadi imam dari mazhab Maliki di Mesir.
     Kepada beliau pernah diajukan pertanyaan mengenai suatu soal yang terdapat didalam kitabnya Al-Ahkam: “Jika kebiasaan tidak menunjukkan sesuatu yang semula sudah ditunjukkan, apakah fatwa-fatwa yang tertulis didalam kitabnya ulama fiqh menjadi batal dan lantas harus berfatwa dengan yang sama dengan kebiasaan yang berubah-ubah itu?”. Jawab Al-Qarafi: “Bahwa semua yang ada didalam syari’at itu mengikuti adat dan kebiasaan, hukum mengenai ssesuatu soal berubah bilamana adat kebiasaan berubah hingga sesuai dengan adat kebiasaan yang berganti-ganti itu, dan mengenai soal itu bukanlah dengan pembaharuan untuk ijtihad dari muqalid sehingga diharuskan syarat-syarat keahlian ijtihad.

Imam Tufi Al-Hambali
     Imam Najamuddin Abur-Rabi’ Sulaiman bin Abdullah bin ‘Abdul-Qawi at Tufi (761 H.) salah seorang imam yang terkenal dari mazhab Hambali.. beliau terkenal sebagai seorang imam yang condong kepada prinsip kemaslahatan daripada kepada nas dan ijma’. Beliau mengatakan dalam penafisrannya terhdap hadits: ( al-Majallah dalam pasal 19)
 “ Tidak bikin melarat bagi dirinya dan tidak terhadap yang lain”
“Bahwa apabila kemaslahatan bertentangan dengan nas dan ijtihad maka kemaslahatan harus lebih diutamakan daripada keduanya dengan cara pengkhususan dan penjelasan tentang nas dan ijma’itu”

Kesimpulan
Disini perlu kita kemukakan beberapa hal yang kita anggap penting untuk memperkecil perbedaan paham dari pendapat-pendapat yang saling bertentangan itu antara lain sebagai berikut:
1)      Bahwa persoalan yang diperselisihkan itu sesungguhnya hany sedikit saja, sebab menurut kenyataannya nas-nas yang berhubungan dengan masalah muamalat itu jumlahnya sedikit sekali jika dibandingkan dengan nas-nas yang berhubungan dengan masalah ibadat.
2)      Bahwa ketentuan-ketentuan hukum yang bisa mengalami perubahan itu sebagian besar adalah berkenaan dengan masalah-masalah furu’, bukan kaidah umum sebagai dasar yang tetap untuk setiap waktu dan tempat.
3)      Menurut pendapat-pendapat ahli-ahli fiqh, bahwa penyimpangan dari ketentuan nas disebabkan karena keadaan darurat diperbolehkan, sebab keadaan darurat itu membolehkan hal-hal yang terlarang.
4)      Bahwasannya banyak yang dihubungkan kepada Sunnah yang sesungguhnya didalam suatu perkara bukan Sunnah, sebagaimana sudah kita terangkan dalam uraian kita mengenai persoalan hadits.
5)      Beberapa nas hadits yang berkenaan dengan masalah-masalah kehidupan keduniawian dan yang pernah dituturkan oleh Nabi SAW.
Jadi sesungguhnya perubahan nas itu sendiri, materinya tidak begitu jauh dari jiwa syari’at yang berdasarkan atas prinsip memudahkan dan menggembirakan sebagaimana tersebut dalam Al-Quran dan hadits: (Al-Baqarah, 185)
 “Allah menghendaki akan kamu sekalian kemudahan dan tidak menghendaki akan kamu sekalian kesukaran.”
(al-bukhari dan syrahnya oleh Al-Aini, juz 2, hal.45)
 “Mudahkanlah oleh kamu sekalian dan janganlah kamu sekalian membikin sulit, gembirakanlah oleh kamu sekalian dan janganlah kamu sekalian menjadikan benci”
(al-bukhari syarah Al-Aini, juz 11 , hal 85)
Artinya : “Ambillah dari pekerjaan itu, apa yang kamu buat kerjakan”
(sahin muslim, juz 7, hal 91. Lihat al-bukhari syarh al-‘aini, juz 25, hal 31.)
 “Apa yang sudah saya cegahkan kepada kamu sekalian, hendaklah kamu sekalian jauhi dan apa yang sudah saya perintahkan kepada kamu sekalian, hendaklah kamu sekalian kerjakan menurut kekuatanmu”

Jadi dalil-dalil, qaul atau pendapat-pendapat yang berpangkal kepada sumber syari’at yang sudah mu’tabar dan yang berpangkal kepada jurisprudensi Islam serta pendapat ahli-ahli ilmu dalam berbagai mazhab, semuanya itu adalah dasar umum. Semuanya ini yang sudah terjadi pada hukum Islam, menandakan bahwa syari’at didalam tahap-tahap sejarah tidak menentang alam pertumbuhan dan perkembangan.


No comments:

Post a Comment