Perundang-Undangan
Negara
Perundang-undangan dan Kepala Negara
Dari uraian-uraian dalam
bagian yang lalu, sudah kita ketahui bahwa ilmu hukum Islam adalah agama dan hukum,
dan pembuat peraturan hukum yang pertama ialah Allah Ta’ala, yang terhimpun
dalam kitab-Nya Al-Qur’an dengan perantaraan lisan Rasul-Nya saw. Oleh karena
itu, maka yang menjadi asas dari syari’at atau hukum Islam itu adalah
Ketuhanan. Jadi, berbeda sifatnya daripada perundang-undangan yang timbul dan
dibuat oleh kekuasaan negara.
Wewenang dalam perundang-perundangan
ini dan kewajiban rakyat untuk mematuhinya, adalah berdasarkan atas nas Al-Qur’an,
Sunnah dan Ijma’. Adapun Sunnah, banyak sekali hadits-hadits sahih yang
memberikan ketentuannya mengenai soal ini. Dan berdasarkan atas ijma’, bahwa
khalifah-khalifah Islam dahulu telah berijtihad dalam berbagai masalah yang
dikemukakan pada mereka. Ijtihad mereka ini apabila diterima dengan ijma’ maka
itupun menjadi bagian dari syari’at.
Beberapa
segi perundang-undangan
Faktor utama yang melahirkan adanya
wewenang perundang-undangan dari kepala negara, ialah tiadanya ketentuan pada
saat diperlukan mengenai masalah-masalah baru yang terjadi di dalam kehidupan
masyarakat. Diantara faktor-faktor yang lain dari perundang-undangan ini, ialah
apa yang lazim disebut politik hukum dan fungsi-fungsi keuangan negara
yang memungkinkan kepala negara, imam dan penguasa-penguasa lain memelihara dan
mengaturnya untuk kemaslahatan rakyat, mengatur hal ihwal orang dalam muamalat,
mengatur tentang pidana atau hukuman ta’zir. Bahkan lebih daripada itu,
khalifah-khalifah tidak ketinggalan mengubah penafsiran ketentuan hukum yang
sudah menjadi ketetapan, apabila hal itu diperlukan berhubung dengan politik
hukum dan kemaslahatan umum. Dari sudut lain lagi kadang-kadang khalifah
mempunyai pengaruh juga atas syari’at.
Batas-batas
kekuasaan Kepala Negara
Di Negara Islam dimana Kepala Negara
sendiri merupakan sumber kekuasaan dan perintah. Demikian misalnya Khalifah
Utsmani, ia mengeluarkan undang-undang itu menurut kebijaksanaannya. Akan
tetapi sekalipun demikian, sama sekali tidak boleh diartikan bahwa khalifah
melakukan kekuasaan perundang-undangan itu hanya berdasarkan kepada pendapatnya
sendiri. Dalam prakteknya ia terikat dalam hukum syari’at dan prinsip-prinsip
keadilan. Ini dapat dibuktikan, bahwa untuk mengatur masalah-masalah yang tidak
ada pengaturannya didalam syari’at beliau harus selalu bermusyawarat dengan
ahli-ahli hukum dan ulama-ulama
Diantara batas-batas lainnya yang
sudah ditentukan terhadap kekuasaan kepala Negara, adalah sistem pemerintahan
Islam sendiri, yaitu prinsip musyawarat sebagai pelaksanaan dari nas Al-Quran:
( ali ‘imran, 159; asy-syura, 38)
“Dan bermusyawaratlah dengan mereka di
dalam urusan itu, dan jika kamu sudah berazam hendaklah kemudian, kamu tawakal
kepada Allah.” “Dan urusan mereka hendaklah dimusyawarahkan diantara mereka.”
No comments:
Post a Comment